Senin kemarin, untuk pertama kalinya selama saya tinggal di Malang, saya mengalami banjir. Benar-benar banjir, sampai airnya masuk kedalam rumah. Tidak besar-besar amat sich, hanya setinggi mata kaki. Tetapi karena ini pengalaman yang jarang saya alami jadi meninggalkan kesan yang dalam banget.
Semasa saya kuliah di Surabaya dulu, tempat kos saya juga pernah kebanjiran, lebih besar dari yang kemarin, dan waktu itu saya sendirian. Setelah semalaman tidak tidur menghabiskan malam tahun baru dengan mba’ yayank, hari pertama tahun 1999 itu saya awali dengan menguras kamar kos, hehe… Surabaya banjir itu wajar jamak lumrah seperti Jakarta, yang tanpa ada banyak sampah saja potensi banjir karena tabrakan antara air dari darat dengan air laut karena posisi tanah yang ‘rata’ dengan permukaan laut itu wajar banget. Lha ini Malang yang secara topografi banyak miringnya kog sampai banjir sih? Haizz…
Kembali ke Malang, …. Senin lalu hari raya kurban itu di akhiri dengan hujan deras campur angin dan geledek. Sekitar jam 3.15an PLN memutuskan aliran listriknya, mungkin ada transformatornya yang terkena sambaran petir. Hujan tambah deras, dan dengan perlahan air mulai naik. Kebetulan posisi rumah bapak berada di posisi tusuk sate, dan air mengalir langsung ke arah gerbang rumah. Tidak sampai 20 menit air sudah masuk sampai ke dapur. Karena derasnya air, kami memutuskan untuk menunggu saja sampai hujannya berhenti. Karena percuma menghalangi air yang volumenya terus bertambah tinggi itu. Kami hanya berupaya membuka buka’an selokan di depan rumah.
Kalau dilihat kondisinya, selokan itu bersih. Tidak ada banyak sampah di situ. Masalahnya memang volume airnya yang terlalu banyak sehingga selokan tidak mampu menampung.
Bapak saya yang di Blitar, suatu kali pernah dengan berapi-api menyodorkan pendapatnya bahwa seharusnya setiap pemilik rumah bertanggung jawab atas air hujan yang turun di wilayahnya – tentu saja sampai tingkat tertentu. Dia mengatakan bahwa seharusnya tiap rumah mempunyai bak penampung air hujan, sehingga air hujan yang turun tidak langsung masuk ke selokan atau lebih parah langsung ke jalan. Bak penampung air hujan ini tidak usah besar, cukup 1x1x1 saja, di dalamnya bisa di masukkan dedaunan kering yang kalau sudah agak busuk mampu mempercepat meresapnya air hujan. Kalau hujannya deras memang tidak akan mampu, tetapi kalau hanya hujan sedang selama satu jam dia masih mampu. Masih menurut bapak saya itu, air hujan memiliki sifat yang berbeda dengan air ledeng. Daya resapnya lebih besar. Untuk yang satu ini saya belum bisa mendapatkan konfirmasi dari pihak manapun. Ada yang tahu?
Bagi saya omongan bapak saya itu banyak benarnya. Perumahan Sawojajar – dan pada umumnya perumahan – menutup sebagian besar wilayahnya dengan plester atau paving, mulai dari jalan sampai teras rumah. Dan semua air hujan masuk ke selokan atau jalan, jelas saja tidak muat ya….
Bapak juga mengutarakan analisisnya mengenai banjirnya Bengawan Solo atau sungai-sungi lain yangterkenal karena potensi banjirnya. Menurutnya, selain hutan, pepohonan dan sampah, ada satu hal lagi yang selama ini tidak diangggap sebagai penyebab, yaitu pengelolaan air hujan yang jatuh di perumahan dan jalan. Selokan dan sungai tidak terlalu berguna, karena itu hanya mengalirkan air, sama saja dengan memindah bencana.
Beberapa waktu yang lalu Pemkot Malang juga telah membuat sumur-sumur resapan air di wilayah-wilayah tertentu, setahu saya di Jalan Ijen. Saya ingat pernah ada seorang sesepuh kota Malang yang juga mengutarakan ide yang kurang lebih sama dengan bapak saya itu. Hanya dia lebih detail dan mempertimbangkan warga yang rumahnya hanya tipe 21, menurut bapak tersebut baiknya ada kebijakan khusus dari Pemkot untuk mewajibkan warganya yang mempunyai rumah dengan tipe 54 ke atas untuk mempunyai bak penampung air hujan. Cukup masuk akal kan…!!! Ini akan mengurangi beban Pemkot secara signifikan.
Satu hal yang saya catat: kebanyakan dari kita hanya peduli dengan keselamatan kita sendiri, lingkungan kita sendiri, dan merasa tidak berdosa mengalirkan bencana ke wilayah orang lain.