Pernahkah kita merasa tidak tahu harus melakukan apa saat sedang sendirian? Lalu memutuskan untuk mengambil handphone dan mulai membuka Facebook atau Instagram?
Secara biologis, ini menandakan ketidak-sukaan kita terhadap kesunyian (silence). Ketidak-sukaan tersebut membuktikan adanya masalah besar dalam diri kita, yaitu: kita, pada dasarnya, takut untuk menjadi sendirian.
Terlalu sering kita mengalami bahwa kesendirian mampu membuat kita menderita. Bukan penderitaan fisik memang, tapi lebih pada penderitaan psikis, yang kita sama tahu, bisa lebih sulit diatasi.
Cerita Yang Tidak Pernah Berhenti
Sebenarnya kita merasa tidak nyaman terhadap ketiadaan (nothingness). Contoh yang cukup nyata adalah ketergantungan kita untuk menggunakan gadget, atau bahkan keinginan mencari pelarian pada musik, obat-obatan, seks, atau alkohol.
Contoh kecil lainnya adalah saat kita terbangun sendirian di malam hari, kita akan segera bercerita pada diri sendiri.
Misalkan cerita seram tentang orang asing yang memasuki rumah, atau tentang hari esok yang membuat kita bersemangat, atau cerita yang biasa-biasa saja dan masuk akal.
Pada dasarnya, apapun cerita yang muncul dalam pikiran, tujuannya adalah untuk menghibur diri dan mengalihkan perhatian kita pada kenyataan, bahwa saat itu kita hanya seorang diri dalam gelap dan sunyinya malam.
Jika kita mau memerhatikan dan berhenti sejenak untuk bercerita, kita akan menyadari bahwa ketika ceritanya berhenti, penderitaan pun dimulai. Mungkin inilah alasan mengapa ceritanya tidak pernah berhenti.
Saat kita bangun di pagi hari, suara dalam pikiran kita akan mulai bercerita.
Satu cerita saat bersiap-siap berangkat kerja, cerita lain saat dalam perjalanan menuju ke kantor, beberapa cerita saat sedang di kantor, lebih banyak cerita saat di rumah, dan cerita terakhir tepat sebelum kita tertidur.
Luar biasa kan? Sepertinya kesadaran kita terus-menerus melawan kesunyian dalam diri.
Namun apa yang membuat kesunyian itu begitu menakutkan?
Mencari Jawaban di Dunia yang Tidak Memiliki Jawaban
Pada akhir Perang Dunia ke-2, seorang filosofis menyatakan bahwa inti dari eksistensialisme adalah “existence precedes essence” – eksistensi mendahului esensi. Yang kalau kita artikan, gampang-nya adalah: Adalah kamu (sendiri) yang bisa memaknai hidupmu (sendiri.)
Saat kita sedang sendirian, rasa gelisah akan timbul. Berbagai pertanyaan pun muncul dalam benak kita, seperti:
Siapakah aku? Kemana aku akan pergi? Apakah arti hidup ini? Hidupku? Aku ingin menjadi apa? Mengapa aku bukan orang lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena adanya “kebebasan.”
Kebebasan yang dimaksud adalah ketiadaan, kekosongan, kehampaan, atau ke-alpa-an. Hal tersebut akan membuat kita gelisah dan pikiran kita melayang-layang untuk mencari ke-ada-an atau ke-eksistensi-an.
Secara alami, kita akan melarikan diri dari pertanyaan-pertanyaan menakutkan yang tidak pasti jawabannya, daripada harus menghadapinya. Kita cenderung akan menghalalkan berbagai kesenangan inderawi.
Ada yang mengejar sensasi orgasme sepanjang hidupnya, ada yang menenggelamkan kekacauan hidupnya dengan minuman keras, ada yang melakukan berbagai aktifitas pemacu adrenalin, ada juga yang selamanya membiarkan perasaannya teralihkan pada acara TV.
Kita mencari kepastian dengan hal-hal yang mampu menstimulasi kita. Hal-hal itu mungkin dapat mengalihkan perhatian dan membuat kita merasa nyaman untuk sementara.
Ketika perasaan “sekarang-semuanya-baik-baik-saja” hilang, rasanya seperti seseorang mendorong kita masuk dalam suatu ruangan dan menutup pintunya. Sunyi. Tiba-tiba kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan tadi muncul lagi. Tidak ada lagi cara untuk melarikan diri.
Ketika kita menyibukkan diri dengan hal-hal yang kita kira dapat membuat kita merasa nyaman, kita melewatkan kenyataan bahwa sebenarnya kita tidak membutuhkan semua itu. Berbagai hal dilakukan dengan harapan agar kita tidak menjadi gila, namun sebenarnya kita sedang membuat diri kita menjadi gila.
Kebenaran yang Tidak Bisa Dihindari
Bayangkan seseorang dikunci di dalam ruangan hampa suara. Apa yang akan dia lakukan?
Mungkin dia akan berteriak, menjerit, berseru sekeras yang dia mampu hingga dia lelah, dan sampai pada keadaan awal – hampa. Deskripsi tersebut sangat tepat untuk menggambarkan rasa gelisah yang dimiliki manusia.
Analoginya adalah jika kita mendapat terlalu banyak stimulasi, habislah kita. Toh pada akhirnya kita semua akan berada pada masa dimana hanya ada kesunyian. Kita memang harus menghadapinya. Walaupun kita bisa lari dari kenyataan, hal itu tidak akan bisa mengubah kenyataan yang ada. Kenyataannya, kita memang sendirian.
Sebagaimana yang dikatakan Naval – filsuf Twitter, “life is a single-player game.”
Kita terlahir sendirian, kita pun akan meninggal sendirian. Selama hidup, kita harus belajar mengenali, mencintai, kehilangan, menemukan diri sendiri, dan seperti itu seterusnya.
Saat-saat terpenting dalam hidup kita, kita rasakan sendirian.
Kita merasakan sakitnya sendirian. Kita menikmati kemenangan sendirian. Bahkan hal-hal yang dialami dengan orang lain – cinta pertama, ciuman pertama, pertama kalinya dalam hal apapun – kita memikirkan dan merasakannya sendirian.
Awalnya semua itu mungkin terdengar dan terasa menakutkan, namun sebenarnya itu baik.
Pertama, kesendirian adalah kebutuhan mutlak untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidup.
Segala pengalihan tidak akan membantu, malahan akan memperburuk keadaan. Karena dengan tidak melakukan apa-apa, tidak akan mengubah apapun. Melarikan diri dari kenyataan hanya akan membuahkan penyesalan di kemudian hari.
Kedua, kesendirian kita, pandangan kita dalam setiap pengalaman yang dilalui membuat kita menjadi unik. Apa yang kita dapatkan dari kesendirian membuat kita lebih kuat sepenuhnya.
Yang terakhir, keindahan dalam menghadapi kesendirian kita adalah kita dapat menemukan jati diri kita. Ini adalah bukti nyata bahwa kesendirian juga dapat berguna untuk meningkatkan kualitas diri kita.
Dunia dan Kita
Dunia menawarkan semakin banyak pelarian dari kenyataan. Daripada menghadapinya, kita malah menjadi semakin ahli untuk menghindarinya. Kita menumpulkan perasaan kita, lari dari kesunyian.
Padahal hal itu hanya akan membuat kita melewatkan kenyataan bahwa hidup adalah sepenuhnya milik kita sendiri.
Kesendirian bukanlah suatu keadaan yang harus ditakuti, tetapi itu adalah masa dimana kita berlatih dan mempersiapkan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Menikmati ketidaknyamanan dalam kesendirian memampukan kita untuk memusatkan perhatian, mengenali pribadi kita, menerima hal yang tidak dapat kita ubah, dan mengetahui hal mana yang penting dalam hidup.
Tidak peduli seberapa sering kita menghindari kesunyian, akan ada masa dimana kita sendirian. Jalani saja, nikmati prosesnya, terima ketidak-nyamanannya.
Usaha yang diperlukan memang tidak sedikit, namun belajar menikmati kesendirian membuat kita mampu menerima keterbatasan, ketidak-sempurnaan, dan segala sesuatu yang ada pada diri kita.
Artikel ini disadur bebas oleh Esti Sekar Arum Kinasih dari tulisan asli karya Niklas Göke yang pertama kali dipublikasikan di Medium.