Menulis dari hati? Bukankah menulis, sebagaimana juga dengan berbicara, adalah sama-sama mengejawantahkan gagasan abstrak yang berasal dari pikiran yang ‘ada’nya di dalam otak ke dalam bentuk simbol-simbol yang secara aklamasi diterima manusia dan disebut dengan huruf – kata – kalimat?
Lha kog dari hati?
Kalau memang dari hati, berarti kita menuliskan sesuatu yang pada dasarnya berada di dalam hati, bukan sesuatu yang bergerak di dalam pikiran. Sekarang kita mendapatkan dua hal, ada gagasan – ide yang bergerak di dalam alam pikiran kita dan ada sesuatu yang aktif di dalam hati kita.
Bagaimana mengenalinya?
Anda pasti setuju, kalau pikiran adalah wilayah yang berkait dengan hal-hal logis, meski logika di pikiran itu bisa mulur-mungsret menurut panjang-pendek dan luas-sempitnya ingatan (baca: wawasan – pengetahuan).
Sementara hati adalah wilayah dimana kita menempatkan dan mengelola segala dari dan dengan rasa menurut kematangan sampai kebusukan pemiliknya.
Berarti menulis dari pikiran adalah menuliskan sesuatu yang kita ketahui tanpa menambahkan pendapat yang dengan mudah terpengaruh oleh cara kita merasakan hal tersebut.
Menulis dari pikiran berarti dengan sadar kita menolak memberi rasa terhadap hal tersebut. Contoh paling jelas adalah ketika kita menuliskan berita.
Berita cukup untuk berita.
Jika kita tambahkan rasa kita kedalam tulisan ‘berita’ tersebut maka rasa itu akan membawa serta rasa kepentingan kita.
Kalau menulis dari hati?
Keikutsertaan hati kita dalam suatu tulisan sangat diperlukan untuk membangun tulisan yang menyentuh, tulisan yang memang dibuat supaya pembacanya dapat memberi respon secepat kalimat pertama atau paling tidak paragraph pertama selesai dibaca.
Respon yang muncul sudah bukan lagi tanggung jawab penulis yang menyertakan rasa-nya dalam tulisan itu. Jika kemudian pembaca tidak setuju dan memberi respon yang negatif maka sebenarnya tulisan itu sama berhasilnya jika kemudian pembaca setuju dan memberi respon positif.
Nah, semakin beragam respon yang diterima suatu tulisan, terlepas dari negatif atau positifnya, semakin berhasil pula tulisan itu.
Meski harus diakui tidak semua tulisan dari hati itu akan mudah mendapatkan respon. Tulisan bagus, biasanya akan direspon lebih sedikit dibanding tulisan yang buruk, tidak tahu kenapa, mungkin sudah alamnya bahwa manusia lebih mudah mencaci daripada memuji. Begitukah?
Jangan lupa baca juga Mau menulis? Jangan ditunda!!!
Setuju banget Mas Bro
Tulisan yang disertai emosi dari penulis biasanya akan berdampak dua arah. Pertama, penulis sendiri akan antusias dengan tulisannya. Meskipun pada akhirnya ga ada yang merespon tapi akan muncul tulisan lain yang lebih baik.
Kedua, tulisan yang dari hari biasanya akan mendapatkan respon. Meskipun cuma satu atau dua orang. Tapi responnya akan dalam maknananya.